Pahlawan atau Kontroversi? Publik Terbagi soal Gelar untuk Soeharto
Bandung: Keputusan negara menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, memantik perdebatan luas di ruang publik. Data pemantauan yang disusun DEEP Intelligence Research menunjukkan percakapan masif dengan 5.989 pemberitaan di media mainstream dan 39.351 percakapan di media sosial selama 1–10 November 2025, memperlihatkan polarisasi sentimen yang berbeda antarlapisan media.
Data DEEP memperlihatkan dominasi sentimen positif pada pemberitaan media arus utama sebesar 73%, sementara sentimen negatif berada pada 21% dan netral 6%. Di platform X, sentimen positif juga kuat sebesar 71% dengan negatif hanya 9%. Sebaliknya, platform visual dan video seperti Instagram dan TikTok menunjukkan proporsi netral tinggi masing-masing 58% dan 57%, sementara YouTube menonjol dengan sentimen negatif terbesar yakni 39% (sumber internal DEEP)
“Narasi yang muncul tidak sekadar soal penghargaan atas jasa pembangunan, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini memproses luka sejarah,” kata Neni Nurhayati, Direktur DEEP Indonesia Selasa (11/11/2025) “Angka-angka ini menunjukkan bahwa medan perdebatan berbeda-beda: media arus utama dan X cenderung menonjolkan capaian, sementara ruang panjang seperti YouTube dan ruang komunitas di Facebook menjadi kanal kritik yang intens.”imbuhnya.
DEEP mengurai pola narasi: pendukung menekankan peran Soeharto sebagai ‘Bapak Pembangunan’ yang menaruh fondasi ekonomi, program swasembada pangan, dan stabilitas politik; dukungan ini diperkuat pernyataan tokoh besar seperti beberapa ulama dan organisasi keagamaan yang memberi legitimasi moral. Di pihak penolak, argumen berpusat pada pelanggaran HAM, praktik Korupsi-Kolusi-Nepotisme, dan kekhawatiran normalisasi sejarah tanpa akuntabilitas.
Analisis platform memperlihatkan dinamika demografis dan format: Twitter/X yang sering menjadi medan opini cepat menampilkan gelombang pro, sedangkan YouTube yang memuat dokumenter dan ulasan panjang memfasilitasi kritik substantif. Facebook menawarkan diskursus yang lebih berimbang; Instagram dan TikTok cenderung netral karena format visual dan audiens muda yang sering membagikan ringkasan berita tanpa komentar panjang.
“Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah muncul sebagai aktor penting dalam narasi pro-penganugerahan, sementara kelompok HAM, akademisi, serta korban kekerasan sejarah menegaskan bahwa rekonsiliasi harus berbasis pengungkapan fakta dan keadilan,” tambah Neni Nurhayati. “Keputusan negara akan menentukan bagaimana generasi mendatang memahami fragmen sejarah yang kompleks ini.”jelasnya.
DEEP juga mencatat indikasi kemungkinan resonansi terorganisir di beberapa kanal yang menguatkan narasi positif, meski penelitian ini tidak mengklaim motif tunggal di balik setiap gelombang opini. Laporan menyarankan agar pemerintah dan pemangku kebijakan mempertimbangkan dimensi emosional dan moral dari isu ini, termasuk dampak jangka panjang pada memori kolektif dan proses rekonsiliasi.
Penutup laporan menegaskan bahwa penghargaan terhadap jasa tidak boleh meniadakan kewajiban akuntabilitas historis. “Mencapreskan seseorang sebagai pahlawan nasional bukan hanya soal penghargaan atas capaian material, melainkan juga soal integritas moral bangsa. Keputusan akhir idealnya mengakomodasi kedua dimensi tersebut,” ujar Neni Nurhayati. Dikutip dari RRI.co.id
