Aturan Baru Perpres 112/2022 Dianggap Permudah Pembangunan PLTU, CERAH Angkat Suara
Policy Strategist CERAH, Naomi Devi Larasati, menilai revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan justru membuka ruang lebih besar bagi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Menurut Naomi, sejumlah perubahan yang terdapat dalam rancangan beleid tersebut melonggarkan aturan pembangunan PLTU, meskipun pemerintah menyebutnya sebagai langkah menjaga keandalan sistem dan kemandirian energi.
“Sejumlah perubahan dalam rancangan beleid ini justru membuka peluang lebih lebar pembangunan PLTU,” ujar Naomi dalam keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Yayasan Cerah Indonesia merupakan organisasi nirlaba yang fokus pada isu lingkungan dan transisi energi di Indonesia.
Isi Revisi Perpres 112/2022 yang Dipermasalahkan
Mengacu pada dokumen konsultasi publik, Pasal 3 Perpres 112/2022 diusulkan untuk diubah dengan menambahkan pengecualian pembangunan PLTU baru. Pengecualian ini diberikan dengan sejumlah syarat, seperti:
- Pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) minimal 35 persen dalam 10 tahun pertama operasi PLTU, dibandingkan rata-rata emisi PLTU Indonesia pada 2025.
- Pengurangan emisi dapat dicapai lewat penerapan PLT Hibrida, cofiring biomassa, carbon offset, serta peningkatan bauran energi terbarukan.
- Mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060 sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Meski demikian, Naomi menegaskan bahwa aturan saat ini saja sudah memberikan pengecualian untuk PLTU yang tercantum dalam RUPTL, PLTU terintegrasi industri untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, dan PLTU yang masuk kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Adanya pengecualian, meskipun disertai syarat komitmen penurunan emisi, akan tetap menambah kapasitas PLTU sehingga struktur energi nasional masih bertumpu pada batu bara,” tegas Naomi.
Pengecualian PLTU Dinilai Hambat Transisi Energi
Policy & Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, menambahkan bahwa perluasan pengecualian untuk pembangunan PLTU baru berpotensi menghambat perkembangan energi terbarukan di Indonesia.
Ia menyoroti pengalaman di era sebelumnya, khususnya program 35 ribu MW pada 2015, yang menghasilkan kelebihan pasokan listrik di jaringan Jawa–Bali akibat dominasi PLTU. Kondisi tersebut mengunci sistem kelistrikan nasional pada infrastruktur batu bara dan memperlambat pertumbuhan energi bersih.
“Dorongan nyata untuk meningkatkan bauran energi terbarukan harus diwujudkan dengan kebijakan yang mendukung. Jika terealisasi, Presiden Prabowo Subianto bisa membuat gebrakan dengan menjadikan Indonesia pemimpin transisi energi dunia,” ujar Wicaksono.
Sumber AntaraNews
