Soal Ajakan Patungan Beli Hutan, Puan Maharani: Mari Gotong Royong untuk Korban Banjir
4 mins read

Soal Ajakan Patungan Beli Hutan, Puan Maharani: Mari Gotong Royong untuk Korban Banjir

Ketua DPR RI, Puan Maharani, memberikan tanggapan terkait ajakan dari warganet untuk bersama-sama membeli hutan melalui media sosial. Ajakan ini muncul setelah terjadinya bencana banjir di Sumatra.

“Ayo kita gotong royong, mengatasi bencana ini, dan ayo kita sama-sama membantu masyarakat yang terdampak,” ungkap Puan di Bandung, Jawa Barat, pada Jumat (5/12/2025).

Sebelumnya, Puan juga meminta pemerintah agar bersikap bijaksana dan menunjukkan empati dalam menghadapi bencana banjir bandang yang melanda beberapa wilayah di Sumatera. Pernyataan tersebut disampaikan Puan sebagai respons terhadap komentar Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto yang menyatakan bahwa bencana di Sumatera tampak mencekam hanya di media sosial.

“Ya pada saat ini lebih baik kita bisa berempati lebih baik daripada kemudian jangan memberikan komentar yang tidak seharusnya diberikan,” kata Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (3/11/2025).

Puan menekankan bahwa situasi bencana sudah cukup sulit, sehingga tidak sepatutnya ditambah dengan komentar yang tidak pantas dari pihak pejabat. “Karena memang situasinya musibah dimana-mana, kemudian bencana memang terjadi. Jadi sekecil apapun yang terjadi tentu saja ada korban yang memang mengalami hal yang tidak mengenakan,” tambahnya.

Data mengenai korban bencana di Sumatera

Akibat bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, jumlah korban meninggal dunia mencapai 867 orang. Angka ini meningkat sebanyak 91 orang dibandingkan data pada Kamis (4/12/2025) yang mencatat 776 korban tewas.

”Total di tiga provinsi ini, 867 korban meninggal dunia,” ungkap Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari dalam konferensi pers pada Jumat (5/12/2025).

Abdul Muhari juga merinci sebaran jumlah korban yang meninggal. Di Sumatera Utara, tercatat 312 orang, sedangkan di Aceh jumlahnya mencapai 345 orang dan di Sumatera Barat terdapat 210 orang yang meninggal dunia. Selain itu, ia menginformasikan bahwa masih ada 521 orang yang dinyatakan hilang akibat bencana tersebut. Dari angka tersebut, 133 orang hilang di Sumatera Utara, 174 di Aceh, dan 214 di Sumatera Barat.

Di samping data korban, Muhari juga memberikan informasi terkini mengenai jumlah pengungsi di ketiga provinsi tersebut. Di Sumatera Utara, jumlah pengungsi mencapai 51.443 jiwa, sementara di Aceh terdapat 775.342 jiwa yang mengungsi, dan di Sumatera Barat sebanyak 22.354 jiwa. “Total pengungsi yang terdata di posko 849.193,” jelasnya.

Tiga faktor utama

Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan daerah sekitarnya sejak 24 November 2025 tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang ekstrem.

Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Muhammad Rais Abdillah, mengungkapkan bahwa bencana besar ini dipicu oleh interaksi tiga faktor utama. Pertama, atmosfer yang sangat aktif. Kedua, kerusakan lingkungan yang mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air. Terakhir, melemahnya kapasitas tampung wilayah. Rais Abdillah juga menjelaskan bahwa saat ini, wilayah Sumatera bagian utara berada pada puncak musim hujan dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

“Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Jumat (28/11/2025).

Pada periode tersebut, curah hujan di wilayah tersebut melebihi 150 milimeter. Beberapa stasiun BMKG bahkan mencatat angka lebih dari 300 milimeter dalam satu hari, mendekati curah hujan ekstrem yang menyebabkan banjir besar di Jakarta pada tahun 2020.

Selain itu, Rais juga menyoroti adanya fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem. Pada tanggal 24 November, terlihat pusaran atau vortex dari Semenanjung Malaysia yang berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka.

Awan hujan besar

“Siklon ini memang tidak sekuat siklon Samudra Hindia, tetapi cukup untuk meningkatkan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, dan memperluas cakupan presipitasi di Sumatra bagian utara,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa indikasi cold surge vortex dan sistem skala meso turut berkontribusi pada terbentuknya awan hujan besar, sehingga intensitas presipitasi meningkat tajam.

Dari perspektif geospasial, penurunan tutupan vegetasi, perubahan fungsi lahan, dan berkurangnya kapasitas tampung lingkungan menjadi faktor yang memperburuk kondisi banjir di lapangan.

Banjir bukan hanya soal hujan

Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, menegaskan bahwa besarnya kerusakan akibat hujan tidak hanya ditentukan oleh intensitas curah hujan.

“Banjir bukan hanya soal hujan. Ini soal bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi,” ujarnya. Menurutnya, kawasan berhutan memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi. Jika area tersebut diubah menjadi permukiman, perkebunan intensif, atau lahan terbuka, maka kemampuan untuk menyerap air akan hilang.

“Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir,” kata Heri.

Dia juga menilai bahwa peta bahaya banjir di Indonesia belum sepenuhnya akurat karena keterbatasan data geospasial dan pemodelan yang belum komprehensif. Padahal, perencanaan tata ruang berbasis risiko sangat penting untuk mencegah terulangnya bencana serupa.

sumber merdeka